PENGARUH GENETIK TERHADAP EFEK NYERI PASCAKEMOTERAPI KANKER PAYUDARA

PENGARUH GENETIK TERHADAP EFEK NYERI PASCAKEMOTERAPI KANKER PAYUDARA

Oleh Gregorius William Thongiratama

 

Gambar 1. Ilustrasi Kanker Payudara

 

Kanker payudara merupakan keganasan dengan penderita terbanyak di dunia yang umumnya terjadi pada wanita.[1] Kanker payudara dapat terjadi dikarenakan adanya warisan gen kanker atau paparan zat-zat karsinogen. Berdasarkan karakteristiknya, kanker payudara dapat dibedakan menjadi ductal carcinoma in situ (DCIS), triple negative breast cancer (TNBC), inflammatory breast cancer (IBC), paget disease, angiosarkoma, dan phyllodes tumor.[2] Untuk menangani kanker payudara, sejak dahulu telah dikembangkan terapi secara hormonal. Namun, terapi ini menjadi kurang efektif seiring ditemukannya jenis-jenis kanker payudara baru.[3] Didasari hal tersebut, berkembang banyak variasi agen kemoterapi yang menyesuaikan dengan keberagaman jenis kanker payudara. Cara kerja kemoterapi yang telah berkembang hingga saat ini adalah dengan mengecilkan ukuran tumor sehingga area operasi menjadi lebih kecil atau dimanfaatkan untuk mengontrol pertumbuhan sel kanker pascaoperasi. Kendati sudah melalui serangkaian uji klinis yang panjang, agen-agen kemoterapi tersebut masih berkemungkinan menimbulkan efek samping yang berbeda-beda pada pasien kanker, khususnya sensasi nyeri yang tidak jarang menimbulkan rasa kurang nyaman pada banyak pasien dan menurunkan kualitas hidup pasien, sebagai pengaruh dari banyaknya polimorfisme gen atau variasi genetik. 

Tingkat respon kemoterapi pasien kanker dapat mempengaruhi hasil terapi pada pasien. Ditinjau dari jenis kankernya, beberapa kanker tertentu berpotensi untuk memiliki keparahan yang lebih buruk dibandingkan jenis lainnya, seperti kanker payudara luminal B sampai saat ini merupakan kanker yang memiliki perjalanan penyakit yang lebih buruk dan resistensi kemoterapi yang lebih tinggi dibandingkan luminal A.[4] Masalah lain yang tidak jarang muncul sebagai akibat dari penggunaan kemoterapi berkaitan dengan kondisi psikis pasien pascakemoterapi. Kemoterapi yang telah dikembangkan hingga saat ini sudah menunjukkan efektivitas yang cukup baik, tetapi tidak jarang menimbulkan gangguan mental pada pasien yang menjalani terapi. Gangguan ini mengarah pada kecemasan atau depresi. Tendensi akan kecemasan dan depresi akan lebih tinggi pada mereka yang mewarisi gen polimorfisme CLOCK dan ABCB 1. [5] Hal inilah yang nantinya turut menyebabkan rendahnya toleransi rasa sakit seseorang dan berdampak pada rendahnya kualitas hidup pasien.

Gambar 2. Mekanisme Pengaruh Faktor Genetik dalam Menimbulkan Variasi Respon Nyeri Pascakemoterapi

 

Pencapaian kualitas hidup yang lebih baik dapat dicapai dengan meningkatkan toleransi rasa sakit pasien kanker. Bentuk rasa sakit yang sering kali dikeluhkan oleh pasien kanker dapat berupa rasa nyeri. Nyeri yang dirasakan oleh pasien kanker tidak jarang dapat dikaitkan dengan stres psikologis oleh karena terapi atau keparahan dari kanker. Rasa nyeri yang seseorang dapat diukur dengan parameter Pain Catastrophizing Scale (PCS).[6] Mekanisme yang terlibat dalam proses terbentuknya rasa sakit ini adalah mikrotubulus yang menjadi kurang stabil sehingga mempengaruhi penghantaran neurotransmiter. Representasi neuropati sebagai akibat penggunaan taxane dan paclitaxel pada ujung saraf terminal dengan adanya indikasi gangguan berupa hilangnya sensitivitas akan suhu dan vibrasi. Bagian spesifik yang dipengaruhi adalah Aδ yang merupakan serat tipis.[7,8] Terapi farmakologis tradisional berbasis herbal yang telah dikembangkan untuk mengatasi hal ini adalah naringenin. Pemanfaatan naringenin lebih diarahkan untuk mengatasi komplikasi yang disebabkan oleh stres psikologis, seperti gangguan pencernaan melalui regulasi reseptor estrogen. Efek penurunan stres berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup pasien secara tidak langsung berlangsung lewat menurunkan peluang metastasis dan tingkat pertumbuhan kanker payudara.[1]

Stres dapat mendorong munculnya respon emosional dan tingkah laku yang memberikan efek kesehatan yang buruk. Hal ini dipengaruhi oleh fungsi bagian otak pada hipokampus frontolimbic yang mencakup sistem limbik dan korteks prefrontal. Setidaknya terdapat tiga konsekuensi dari adanya perubahan ini yaitu respon stress yang memburuk, sikap yang lebih impulsif, berkurangnya kemampuan perencanaan jangka panjang, serta regulasi emosi yang kurang baik.[9,10] Dua cabang persarafan yang kemudian juga terlibat dalam respon stres adalah sistem saraf simpatis dan aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA). Secara molekuler, beberapa gen dapat mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk mengalami stress, di antaranya dalam keterlibatannya pada metabolisme glukokortikoid dan katekolamin. Kedua metbaolisme tersebut melibatkan adanya peran dari komponen protein atau enzizm tertentu. Metabolisme glukokortikoid yang dapat mempengaruhi variasi genetik dari protein penyusun FK506 binding protein-5 (FKBP5), difasilitasi dengan adanya reseptor glukokortikoid. Kortisol dapat berikatan dengan reseptor glukokortikoid dan akan diteruskan ke nukleus sebagai stimulus respon tertentu. Sementara itu, peran katekolamin lebih banyak dipengaruhi oleh enzim catechol-O-methyl-transferase (COMT). Kerja enzim yang optimal, ditandai dengan signifikansi jumlah met/met berkaitan perjalanan penyakit dan kualitas hidup kanker payudara yang lebih baik.[9] 

Perkembangan pengobatan berkaitan dengan rasa nyeri yang cukup kontroversial adalah penggunaan senyawa hasil ekstrak daun ganja, senyawa cannabinoid. Senyawa cannabinoid cukup relevan untuk dijadikan sebagai salah satu solusi alternatif untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien kanker berkaitan dengan peningkatan reseptor cannabinoid, CB2, berdasar hasil identifikasi pada banyak sampel penelitian yang mengalami kanker payudara. Reseptor CB2 dipengaruhi oleh cannabinoid, melibatkan peran serta protein-protein tertentu, seperti 2-arachidonoylglyceryl ether (2-AGE), virodhamine (O-arachidonoylethanolamine), N-arachidonoyldopamine (NADA), N-arachidonoyl glycine (NAGly), dan oleamide (ODA). Interaksi cannabinoid dan CB akan memicu fungsi tubuh, mencakup nafsu makan, ritme sirkadian, inflamasi, stress, nyeri, reproduksi, atau pengaruhnya pada patofisiologi penyakit kanker. Berkaitan dengan pengaruhnya pada kanker, cannabinoid ditunjukkan mengalami peningkatan secara signifikan, seperti yang ditunjukkan pada kanker payudara luminal (60-73%) dan HER2+ (90%).[11]

Gambar 3. Peran Terapi Farmakologis dan Nonfarmakologis dalam Mengatasi Respon Nyeri pada Kanker

Manajemen terapi untuk menangani rasa nyeri pada pasien, didasari pada pertimbangan efek samping yang mungkin ditimbulkan, diutamakan secara nonfarmakologis dengan tidak menutup kemungkinan untuk adanya penanganan secara farmakologis. Strategi nonfarmakologis sederhana yang dapat dilakukan adalah refleksi diri dan olahraga. Refleksi diri dapat meningkatkan fleksibilitas pasien dalam menghadapi masalah. Refleksi diri lebih berfokus pada memperbanyak rasa syukur dan tidak berlarut dalam kondisi saat ini. Olah raga dapat menjadikan tubuh menjadi lebih aktif dan memiliki dampak yang baik pada hipokampus yang salah satu perannya berkaitan dengan regulasi stres.[10] Selain itu, berdasarkan dari analisis biokimia, terapi-terapi non farmakologis ini dapat menurunkan beberapa sitokin yang menyebabkan stres oksidatif seperti IFN-λ, TNF, IL-4, dan IL-10. [12] Hasil akhir dari terapi nonfarmakologis ini apabila dapat berjalan dengan baik tidak lain adalah peningkatan kualitas hidup pada pasien kanker.

Penanganan lanjut secara farmakologis melibatkan aktivasi saraf simpatis. Studi klinis telah mengembangkan tipe obat beta blocker yang terjangkau dan memiliki efektivitas yang baik. Efek yang ditunjukkan dari penggunaan jenis obat berupa penurunan pertumbuhan dan migrasi sel kanker.[12] Uji klinis yang telah berkembang saat ini mengarah pada pengembangan pengobatan untuk mengatasi adanya efek samping berupa neuropati berupa ganglioside-monosialic acid (GM-1). Berdasarkan meta-analysis oleh Wu et al. (2021), GM-1 tidak mempengaruhi secara langsung sebagai agen antikanker melainkan lebih bersifat kuratif untuk mengurangi rasa nyeri neuropati perifer.[13] ALDH1A3 dapat mengubah profil metabolit dari sel kanker payudara dan pemanfaatannya adalah dengan menginduksi nyeri saraf perifer yang efeknya menyerupai GABA. Hal ini biasanya ditemukan pada kanker payudara jenis TNBC. Efek inhibisi metabolism GABA dapat berdampak pada penurunan pertumbuhan dan metastasis menuju ke otak.[14]

 

Referensi

1. Zhang J, Wang N, Zheng Y, Yang B, Wang S, Wang X, et al. Naringenin in Si-Ni-San formula inhibits chronic psychological stress-induced breast cancer growth and metastasis by modulating estrogen metabolism through FXR/EST pathway. J Adv Res [Internet] 2022;(xxxx). Available from: https://doi.org/10.1016/j.jare.2022.06.006

2. Feng Y, Spezia M, Huang S, Yuan C, Zeng Z, Zhang L, et al. Breast cancer development and progression: Risk factors, cancer stem cells, signaling pathways, genomics, and molecular pathogenesis. Genes Dis [Internet] 2018;5(2):77–106. Available from: https://doi.org/10.1016/j.gendis.2018.05.001

3. Lukong KE. Understanding breast cancer – The long and winding road. BBA Clin [Internet] 2017;7:64–77. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.bbacli.2017.01.001

4. Chandradewi MR, Manuaba IBTW, Adiputra PAT. Faktor Yang Mempengaruhi Rekurensi Pada Pasien Kanker Payudara Pasca Modified Radical Mastectomy di RSUP Prof. Dr. I G.N.G Ngoerah. Intisari Sains Medis 2022;13(3):690–3. 

5. Hajj A, Hachem R, Khoury R, Hallit S, ElJEBBAWI B, Nasr F, et al. Clinical and genetic factors associated with anxiety and depression in breast cancer patients: a cross-sectional study. BMC Cancer 2021;21(1):1–11. 

6. Cimpean A, David D. The mechanisms of pain tolerance and pain-related anxiety in acute pain. Heal Psychol Open 2019;6(2). 

7. Andersen Hammond E, Pitz M, Shay B. Neuropathic Pain in Taxane-Induced Peripheral Neuropathy: Evidence for Exercise in Treatment. Neurorehabil Neural Repair 2019;33(10):792–9. 

8. Staff NP, Fehrenbacher JC, Caillaud M, Damaj MI, Segal RA, Rieger S. Pathogenesis of paclitaxel-induced peripheral neuropathy: A current review of in vitro and in vivo findings using rodent and human model systems. Exp Neurol [Internet] 2020;324(3):113121. Available from: https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0014488619302687

9. Buchanan TW, Lovallo WR. The role of genetics in stress effects on health and addiction. Curr Opin Psychol [Internet] 2019;27(3):72–6. Available from: https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S2352250X1830143X

10. Zhao JL, Jiang WT, Wang X, Cai ZD, Liu ZH, Liu GR. Exercise, brain plasticity, and depression. CNS Neurosci Ther 2020;26(9):885–95. 

11. Almeida CF, Teixeira N, Correia-Da-silva G, Amaral C. Cannabinoids in breast cancer: Differential susceptibility according to subtype. Molecules 2022;27(1). 

12. Gosain R, Gage-Bouchard E, Ambrosone C, Repasky E, Gandhi S. Stress reduction strategies in breast cancer: review of pharmacologic and non-pharmacologic based strategies. Semin Immunopathol 2020;42(6):719–34. 

13. Wu S, Bai X, Guo C, Huang Z, Ouyang H, Huang J, et al. Ganglioside-monosialic acid (GM1) for prevention of chemotherapy-induced peripheral neuropathy: a meta-analysis with trial sequential analysis. BMC Cancer 2021;21(1):1–12. 

14. Dahn ML, Walsh HR, Dean CA, Giacomantonio MA, Fernando W, Murphy JP, et al. Metabolite profiling reveals a connection between aldehyde dehydrogenase 1A3 and GABA metabolism in breast cancer metastasis. Metabolomics [Internet] 2022;18(1):1–14. Available from: https://doi.org/10.1007/s11306-021-01864-6