Dilemma Penggunaan Tabir Surya dengan Faktor Perlindungan Matahari (SPF), “Melindungi Kulit dari Kanker atau Sebaliknya Menyebabkan Penyakit Tulang Akibat Kurang Terpapar Sinar Matahari”

Fakta Tabir Surya

Artikel Edisi Awal Februari 2019

STAFF PENELITIAN KOMPAK FK UNUD

Kanker kulit merupakan benjolan atau pertumbuhan yang berlebihan pada jaringan kulit yang dapat mengenai sebagian atau seluruh lapisan kulit. Kanker kulit  memiliki struktur tidak teratur, dapat menyebar ke jaringan lain melalui pembuluh darah atau pembuluh getah bening, serta dapat merusak jaringan sekitarnya (Wilvestra, Lestari, dan Asri, 2018). Di Indonesia, kanker kulit dijumpai 5,9 – 7,8 % dari semua jenis kanker pertahun. Kanker kulit yang paling sering terjadi di Indonesia adalah karsinoma sel basal (65,5%), karsinoma sel skuamosa (23%), dan melanoma maligna (7,9%) (Menaldi, Bramono, dan Indriatmi W, 2016).

Salah satu penyebab kanker kulit yang sudah terbukti secara klinis dan banyak dikenal adalah paparan sinar matahari yang berlebihan. Paparan sinar matahari yang berlebih dapat menginisiasi karsinogenesis dan menjadi penyebab utama kanker kulit melanoma dan non-melanoma. Di Kanada, lebih dari 90% penyebab kasus kanker kulit adalah paparan sinar matahari yang berlebih (Gallagher, 2005). Penipisan lapisan ozon dan peningkatan suhu akibat pemanasan global juga meningkatkan risiko kanker kulit untuk masa mendatang. Peningkatan suhu 2oC akan meningkatkan jumlah kanker kulit setiap tahun sebesar 10%. Selain itu, suhu yang lebih hangat memengaruhi perilaku terhadap paparan sinar matahari dan perlindungan terhadap sinar ultraviolet. Suhu yang lebih tinggi dikaitkan dengan peningkatan waktu yang dihabiskan di luar ruangan serta tidak menggunakan pakaian pelindung pada anak-anak dan orang dewasa (Kaffenberger dkk., 2016).

Saat ini banyak cara yang dilakukan untuk mengurangi paparan sinar matahari untuk mencegah kanker kulit seperti penggunaan baju lengan panjang dan celana panjang serta mengurangi waktu terkena paparan sinar matahari, namun cara-cara tersebut kurang efektif pada beberapa kondisi tertentu sehingga muncul solusi terakhir yaitu penggunaan tabir surya dengan faktor perlindungan matahari (SPF) yang praktis dan dianggap efektif dalam mengurangi paparan sinar matahari. Tabir surya dengan SPF memberikan proteksi terhadap radiasi ultraviolet B (UVB) yang merupakan penyebab utama karsinoma sel basal dan karsinoma sel skuamosa. Tabir surya dengan SPF juga sudah terbukti ampuh mengurangi risiko pada kedua jenis kanker kulit non-melanoma tersebut (Gallagher, 2005).

Meskipun dianggap ampuh mengurangi risiko kanker kulit, saat ini timbul kontra terhadap penggunaan tabir surya karena UVB yang dihalangi oleh tabir surya, ternyata berperan dalam 90% proses mekanisme pembentukkan vitamin D pada tubuh. Penggunaan tabir surya ditakutkan mengurangi pembentukkan vitamin D yang berperan penting dalam menjaga kesehatan tulang dan berbagai sistem kerja organ tubuh lainnya. Terdapat 3 hasil studi yang membuktikan penggunaan tabir surya dengan SPF mengurangi pembentukkan vitamin D secara signifikan, namun pada studi lain meskipun terjadi penurunan pembentukkan vitamin D, jumlah yang diproduksi masih dalam batas normal. Penurunan yang masih dalam batas normal ini mungkin terjadi karena penggunaan tabir surya yang kurang dan tidak merata serta  perubahan perilaku pengguna tabir surya yang menghabiskan waktu lebih banyak di bawah paparan sinar matahari. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara teoritis tabir surya dapat menghambat pembentukkan vitamin D, secara praktikal tabir surya tidak benar-benar menghambat pembentukkan vitamin D karena pemakaian yang kurang efisien dari penggunanya (Norval and Wulf, 2009).

Pro dan kontra dalam penggunaan tabir surya menyebabkan beberapa orang mencari cara alternatif penggunaan tabir surya dengan SPF agar tidak menghambat pembentukkan vitamin D. Salah satu cara alternatif yang sudah terbukti adalah menggunakan tabir surya lebih tipis dan dengan SPF yang lebih rendah. Pada penelitian yang dilakukan oleh Grigalavicius dkk., aplikasi tabir surya 0,8-1 mg/cm,yaitu di bawah kadar yang direkomendasikan (2 mg/cm2), dan kadar SPF yang rendah (SPF ≤30) memberikan radiasi UV yang cukup untuk diserap kulit (Grigalavicius, Iani and Juzeniene, 2016).

Oleh : Staff Penelitian Kompak FK Unud

Daftar Pustaka

Menaldi S.L., Bramono K., dan Indriatmi W.(2016) ‘Tumor kulit’, Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 7. h.262-276.

Gallagher, R. P. (2005) ‘Sunscreens in melanoma and skin cancer prevention’, Canadian Medical Association Journal, 173(3), pp. 244–245.

Grigalavicius, M., Iani, V. and Juzeniene, A. (2016) ‘Layer Thickness of SPF 30 Sunscreen and Formation of Pre-vitamin D’, 1416, pp. 1409–1415.

Kaffenberger, B. H. et al. (2016) ‘The effect of climate change on skin disease in North America’, Journal of American Dermatology. Elsevier Inc. doi: 10.1016/j.jaad.2016.08.014.

Norval, M. and Wulf, H. C. (2009) ‘Does chronic sunscreen use reduce vitamin D production to insufficient levels ?’, British Journal of Dermatology, pp. 732–736. doi: 10.1111/j.1365-2133.2009.09332.x.

Wilvestra, S., Lestari, S. and Asri, E. (2018) ‘Studi Retrospektif Kanker Kulit di Poliklinik Ilmu Kesehatan’, Jurnal Kesehatan Andalas, 7(Supplement 3), pp. 47–49.